Nganjuk,Media Phatas,-
Praktik mencurigakan terjadi di SMAN 1 Sukomoro, Kabupaten Nganjuk. Setiap wartawan yang datang diwajibkan meninggalkan foto ID card serta membuat kwitansi Rp200 ribu. Uang itu kemudian bisa dicairkan setiap hari Jumat di pos satpam. Kepala sekolah Sumidi berkilah, “Itu SOP kami.”
Namun, dalih tersebut justru menjerat Sumidi pada sejumlah pelanggaran hukum serius.
Pertama, UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 12B menyebut setiap gratifikasi kepada pegawai negeri dianggap suap apabila terkait jabatan dan berlawanan dengan kewajiban. Fakta Rp200 ribu per Jumat jelas masuk kategori suap. Sanksi: penjara seumur hidup atau 4–20 tahun, denda Rp200 juta–Rp1 miliar.
Kedua, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 4 ayat (2) menjamin pers berhak mencari dan menyebarkan informasi. Pemberian uang rutin kepada wartawan adalah bentuk intervensi yang mencederai independensi media.
Ketiga, UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 4 ayat (3) menegaskan pemohon informasi tidak wajib memberikan alasan, apalagi diberi imbalan. Skema uang Jumat menyalahi asas transparansi.
Keempat, PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS Pasal 4 angka 8 melarang PNS menyalahgunakan wewenang. Sanksinya: hukuman disiplin berat hingga pemberhentian tidak hormat.
Praktik “uang Jumat” ini jelas bukan SOP, melainkan mekanisme gratifikasi terstruktur untuk membungkam media. Dengan Rp200 ribu per pekan, Sumidi telah mengubah sekolah negeri menjadi markas mafia informasi, menukar martabat pendidikan dengan amplop mingguan.
Kebijakan ini bukan sekadar cacat etik, melainkan tindak pidana korupsi yang terang-benderang. Sumidi layak dicopot dan diseret ke meja hukum agar dunia pendidikan tidak terus dipermalukan oleh kepemimpinan kepala sekolah yang menjadikan sekolah negeri sebagai mesin uang gelap. ( Red )